Koran Sindo -- Thursday, 04 June 2009
SEWAKTU menyelesaikan studi di Amerika Serikat (AS) saya sering tertegun melihat nama-nama jalan yang sama di setiap kota.Tentu saja bukan nama orang atau pahlawan seperti yang sering kita lihat di sini, melainkan nama-nama seperti Green Street, Apple Street, First Street, dan seterusnya.
Namun ada nama jalan yang selalu saya temui di mana pun saya berada, yaitu Market-Street, dan hanya sedikit kota yang punya jalan bernama Wall-Street. Itulah nama dua jalan yang sekarang menjadi persoalan di AS dan menjadi hujatan di sini.
Di AS, mereka mempersoalkan krisis keuangan, di kita berkibar asap-asap pedih yang diteriaki sekelompok kecil politisi sebagai ”neolib”. Supaya tidak tambah ruwet, kita kupas perlahan-lahan dan mohon buka pikiran Anda sebersih-bersihnya, sebab berbahaya sekali menghantubirukan ekonom sebagai neolib, apalagi kalau neolib dimaknai hantu busuk.
Pasar dan Ekonomi pasar
Kalau kita belajar ekonomi, di mana-mana di dunia ini (saya kira selain di Korea Utara) yang Anda dapatkan hanyalah ekonomi pasar. Sebagaiekonom,meskibukanorang makro, saya pun kecipratan belajar tentang pasar.Jadi belajar ekonomi yaekonomi pasar,kecuali Anda yang belajar teori ekonomi tahun 1950 atau 1960,saat aliran-aliran ekonom alternatifnya masih bertempur memperoleh pengakuan.
Dalam filosofinya tentu setiap ideologi turut mewarnai teori ekonomi. Berbagai orang kini mempersoalkan seakan-akan ekonom itu sudah sangat propasar.Teman-teman yang belajar tentang ekonomi balik bertanya, apa salahnya dengan pasar? Bukankah pasar itu bagus? Pasar itu artinya demokrasi. Kalau di pasar politik kita menyebut kekuatan itu ada di tangan rakyat, maka di dalam perekonomian rakyat itu kita sebut konsumen.
Kalau dalam pemerintahan ada pemerintah, dalam bisnis ada perusahaan. Perusahaan tentu tidak sekelas dengan pemerintah, karena mereka terdiri atas badanbadan hukum yang bersifat terbatas dan bermotif bisnis. Kalau pemerintah mengurus kebijakan, bisnis menjadi operator usaha.
Lantas apakah yang dimaksud dengan motif bisnis? Motif bisnis di Market-Street berbeda dengan motif bisnis yang digaung-gaungkan di Wall-Street.Di Market-Street orang-orang membantingtulangbekerjasiang- malam mencari sesuap nasi.Mereka adalah para wirausaha yang mengelola usaha keluarga dan membentuk badan-badan hukum. Ada yang berdagang,berjualan baju,kerajinan, membuathasil-hasilriset, inovasi sampai menjual hasil produksi (pabrikan) dan jasa-jasa.
Di setiap kota kecil, setiap kali mengunjungi Market-Street, saya selalu bertemu para aktivis komunitas yang dihormati masyarakat. Mereka bersama-sama membiayai fasilitas publik, menjadi sponsor kegiatan-kegiatan komunitas. Seorang teman, yang dibesarkan pada keluarga yang memiliki toko peralatan memasak/ membuat kue, bercerita, ayahnya selalu mengatakan ia berbisnis untuk melayani komunitas.
Toko mereka adalah rumah mereka. Kalau malam ada yang menggedor toko, ayahnya pun membukakan pintu. Karena bagi mereka pembeli adalah tamu dan mereka adalah tetangga yang perlu dilayani.Mereka terpaksa menggedor di malam hari karena mereka sangat memerlukan bantuan. Misalnya seorang ibu alat masaknya rusak,padahal dia sudah memegang kontrak mengirim masakan ke sebuah pabrik.
Kalau toko tak dibuka,celakalah si ibu. Itulah ekonomi pasar. Terdiri atas para pelaku usaha yang melayani konsumen, yang saling bersaing merebut pelanggan.Mereka hanya akan bertahan kalau mereka memberikan pelayanan, berinovasi dan beradaptasi terhadap kebutuhan pelanggan.
Wall-Street
Lain mereka, lain pula suasana yangsaya lihatdiNew York.Diantara bangunan-bangunan besar yang megah terdapat sebuah jalan bernama Wall-Street. Di jalan ini selalu kita temui orang-orang muda yang serbasibuk,berjas,dan berdasi. Ekonomi Wall-Street adalah ekonomi yang berbasiskan keuangan. Mereka juga mengenal istilah pasar, tapi pasar bagi mereka adalah pemilik uang, yaitu mereka yang ingin memperbesar uangnya dari uang yang mereka kuasai.
Bagi mereka uang adalah magic. Orang-orang di Market-Street berpikir tentang ekologi dan hubungan. Di Wall-Street hubungan tidak penting.Yang lebih penting adalah kinerja, yaitu financial performance atau rate of return. Maka bagi mereka, return, score, rating,ranking,dan ratio,lebih penting. Sekalipun ada suatu negara, sebut saja Indonesia di tahun 1998- 1999, yang sangat menderita dan sangat memerlukan uang, mereka belum tentu tergerak menuju ke sana, kecuali lembaga-lembaga ratingmemberi rekomendasi.
Ekonomi Wall-Street adalah ekonomi uang dan di antara pemain- pemain keuangan itu selalu saja muncul derivatif-derivatif baru yang bersifat predator. Sejak John Edmunds (1996) menulis cara baru menciptakan kekayaan melalui securities dalam jurnal terkenal Foreign Policy, para predator itu pun memainkan jurus-jurusnya.
Mereka menjadikan segala kebutuhan masyarakat dalam bentuk securities yang selalu bisa diperdagang kan. Dua tahun terakhir ini masyarakat seluruh dunia dibuat pusing karena energi dan properti diperdagang kan melalui ”paper”. Mereka berhasil mengomando ”pasar” riil karena mereka menguasai dalam bentuk paper, sehingga harga di pasar riil mengikuti harga sekuritas.
Sifat-sifat harga yang semula mengikuti kehendak hukum ekonomi, yaitu supply-demand, tibatiba bergeser mengikuti pola harga securities. Harga bisa melambung tinggi sekali dan tidak ada hubungannya dengan supply-demand, namun ia juga bisa kempis tiba-tiba saat ”bubble”-nya pecah. Anda mungkin masih ingat harga minyak mentah tahun lalu hampir menembus USD200/barel.
Menurut data dari NYMEX,sejak 2006 porsi perdagangan securities dalam bidang energi telah mencapai 50%. Padahal pada 2003 porsinya baru sekitar 4,6%. Goldman Sach, Morgan Stanley, dan Citibank, bahkan tahun lalu mempunyai cadangan yang sangat besar dalam paper energyini.
Di Singapura, beberapa di antara para pelaku utama di sektor keuangan bahkan sengaja memiliki ”storage” sekadar agar bisa ikut ”bidding” menentukan harga minyak yang diatur Plats. Perilaku goreng-menggoreng yang bersifat predatory ini jelas sangat membahayakan perekonomian. Karena perilaku seperti itu pulalah ekonomi AS collaps dilanda krisis yang sangat destruktif.
Uang dan Cepat Kaya
Sifat-sifat predatory yang ada di Wall-Street, yang dibawa oleh para spekulator, sekarang menjalar ke mana-mana. Ia bukan hanya merasuki area corporate finance dan securitiessaja, melainkan sudah memasuki area personal finance.Di manamana saya bertemu orang yang berbicara soal uang,uang,dan uang.
Uang seakan-akan menjadi magic.Mereka termakan kata-kata Robert Kiyosaki yang memprovokasi, ”Jangan bekerja untuk uang, tapi buatlah uang bekerja untuk Anda.”Yang mereka lupa, kehidupan ini berisi hal-hal yang lebih dari sekadar uang, yaitu hubungan, kekeluargaan, dan mutual-caring (saling memeliharasaling menjaga) sehingga membebaskan manusia dari ketergantungan dengan uang.
Dalam paradigma Wall-Street manusia hanya berbicara tentang rate of return dan kinerja ekonomi. Dalam kehidupan yang sehat, kita berbicara tentang kontribusi ekonomi yang berkelanjutan,yang terdiri atas makanan yang sehat, air yang bersih dan mengalir,tanah yang subur, dan nilai-nilai yang kooperatif. Kalau manusia sudah ingin cepat kaya, maka ia terperangkap dalam illusionary wealth, yaitu seakan-akan kekayaan itu hanya uang.
Dengan cara yang demikian orang akan saling telan sebagaimana predator. Di perusahaan mereka melakukan perampingan, outsourcing ke luar negeri, sehingga banyak pengangguran. Harga sahamnya naik, tapi kesenjangan meningkat.Konflik pun meluas dan dunia dihantui terorisme.
Kalau Anda mengajarkan orang cepat-cepat kaya,Anda juga harus ingat,Anda menaburkan kekacauan karena kekayaan tak bisa diperoleh tanpa kerja keras dan pengorbanan. Tuhan memberi kesempatan kita berjuang,agar memperoleh kekayaan plus kearifan dari tempaan hidup.(*)
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
Di AS, mereka mempersoalkan krisis keuangan, di kita berkibar asap-asap pedih yang diteriaki sekelompok kecil politisi sebagai ”neolib”. Supaya tidak tambah ruwet, kita kupas perlahan-lahan dan mohon buka pikiran Anda sebersih-bersihnya, sebab berbahaya sekali menghantubirukan ekonom sebagai neolib, apalagi kalau neolib dimaknai hantu busuk.
Pasar dan Ekonomi pasar
Kalau kita belajar ekonomi, di mana-mana di dunia ini (saya kira selain di Korea Utara) yang Anda dapatkan hanyalah ekonomi pasar. Sebagaiekonom,meskibukanorang makro, saya pun kecipratan belajar tentang pasar.Jadi belajar ekonomi yaekonomi pasar,kecuali Anda yang belajar teori ekonomi tahun 1950 atau 1960,saat aliran-aliran ekonom alternatifnya masih bertempur memperoleh pengakuan.
Dalam filosofinya tentu setiap ideologi turut mewarnai teori ekonomi. Berbagai orang kini mempersoalkan seakan-akan ekonom itu sudah sangat propasar.Teman-teman yang belajar tentang ekonomi balik bertanya, apa salahnya dengan pasar? Bukankah pasar itu bagus? Pasar itu artinya demokrasi. Kalau di pasar politik kita menyebut kekuatan itu ada di tangan rakyat, maka di dalam perekonomian rakyat itu kita sebut konsumen.
Kalau dalam pemerintahan ada pemerintah, dalam bisnis ada perusahaan. Perusahaan tentu tidak sekelas dengan pemerintah, karena mereka terdiri atas badanbadan hukum yang bersifat terbatas dan bermotif bisnis. Kalau pemerintah mengurus kebijakan, bisnis menjadi operator usaha.
Lantas apakah yang dimaksud dengan motif bisnis? Motif bisnis di Market-Street berbeda dengan motif bisnis yang digaung-gaungkan di Wall-Street.Di Market-Street orang-orang membantingtulangbekerjasiang- malam mencari sesuap nasi.Mereka adalah para wirausaha yang mengelola usaha keluarga dan membentuk badan-badan hukum. Ada yang berdagang,berjualan baju,kerajinan, membuathasil-hasilriset, inovasi sampai menjual hasil produksi (pabrikan) dan jasa-jasa.
Di setiap kota kecil, setiap kali mengunjungi Market-Street, saya selalu bertemu para aktivis komunitas yang dihormati masyarakat. Mereka bersama-sama membiayai fasilitas publik, menjadi sponsor kegiatan-kegiatan komunitas. Seorang teman, yang dibesarkan pada keluarga yang memiliki toko peralatan memasak/ membuat kue, bercerita, ayahnya selalu mengatakan ia berbisnis untuk melayani komunitas.
Toko mereka adalah rumah mereka. Kalau malam ada yang menggedor toko, ayahnya pun membukakan pintu. Karena bagi mereka pembeli adalah tamu dan mereka adalah tetangga yang perlu dilayani.Mereka terpaksa menggedor di malam hari karena mereka sangat memerlukan bantuan. Misalnya seorang ibu alat masaknya rusak,padahal dia sudah memegang kontrak mengirim masakan ke sebuah pabrik.
Kalau toko tak dibuka,celakalah si ibu. Itulah ekonomi pasar. Terdiri atas para pelaku usaha yang melayani konsumen, yang saling bersaing merebut pelanggan.Mereka hanya akan bertahan kalau mereka memberikan pelayanan, berinovasi dan beradaptasi terhadap kebutuhan pelanggan.
Wall-Street
Lain mereka, lain pula suasana yangsaya lihatdiNew York.Diantara bangunan-bangunan besar yang megah terdapat sebuah jalan bernama Wall-Street. Di jalan ini selalu kita temui orang-orang muda yang serbasibuk,berjas,dan berdasi. Ekonomi Wall-Street adalah ekonomi yang berbasiskan keuangan. Mereka juga mengenal istilah pasar, tapi pasar bagi mereka adalah pemilik uang, yaitu mereka yang ingin memperbesar uangnya dari uang yang mereka kuasai.
Bagi mereka uang adalah magic. Orang-orang di Market-Street berpikir tentang ekologi dan hubungan. Di Wall-Street hubungan tidak penting.Yang lebih penting adalah kinerja, yaitu financial performance atau rate of return. Maka bagi mereka, return, score, rating,ranking,dan ratio,lebih penting. Sekalipun ada suatu negara, sebut saja Indonesia di tahun 1998- 1999, yang sangat menderita dan sangat memerlukan uang, mereka belum tentu tergerak menuju ke sana, kecuali lembaga-lembaga ratingmemberi rekomendasi.
Ekonomi Wall-Street adalah ekonomi uang dan di antara pemain- pemain keuangan itu selalu saja muncul derivatif-derivatif baru yang bersifat predator. Sejak John Edmunds (1996) menulis cara baru menciptakan kekayaan melalui securities dalam jurnal terkenal Foreign Policy, para predator itu pun memainkan jurus-jurusnya.
Mereka menjadikan segala kebutuhan masyarakat dalam bentuk securities yang selalu bisa diperdagang kan. Dua tahun terakhir ini masyarakat seluruh dunia dibuat pusing karena energi dan properti diperdagang kan melalui ”paper”. Mereka berhasil mengomando ”pasar” riil karena mereka menguasai dalam bentuk paper, sehingga harga di pasar riil mengikuti harga sekuritas.
Sifat-sifat harga yang semula mengikuti kehendak hukum ekonomi, yaitu supply-demand, tibatiba bergeser mengikuti pola harga securities. Harga bisa melambung tinggi sekali dan tidak ada hubungannya dengan supply-demand, namun ia juga bisa kempis tiba-tiba saat ”bubble”-nya pecah. Anda mungkin masih ingat harga minyak mentah tahun lalu hampir menembus USD200/barel.
Menurut data dari NYMEX,sejak 2006 porsi perdagangan securities dalam bidang energi telah mencapai 50%. Padahal pada 2003 porsinya baru sekitar 4,6%. Goldman Sach, Morgan Stanley, dan Citibank, bahkan tahun lalu mempunyai cadangan yang sangat besar dalam paper energyini.
Di Singapura, beberapa di antara para pelaku utama di sektor keuangan bahkan sengaja memiliki ”storage” sekadar agar bisa ikut ”bidding” menentukan harga minyak yang diatur Plats. Perilaku goreng-menggoreng yang bersifat predatory ini jelas sangat membahayakan perekonomian. Karena perilaku seperti itu pulalah ekonomi AS collaps dilanda krisis yang sangat destruktif.
Uang dan Cepat Kaya
Sifat-sifat predatory yang ada di Wall-Street, yang dibawa oleh para spekulator, sekarang menjalar ke mana-mana. Ia bukan hanya merasuki area corporate finance dan securitiessaja, melainkan sudah memasuki area personal finance.Di manamana saya bertemu orang yang berbicara soal uang,uang,dan uang.
Uang seakan-akan menjadi magic.Mereka termakan kata-kata Robert Kiyosaki yang memprovokasi, ”Jangan bekerja untuk uang, tapi buatlah uang bekerja untuk Anda.”Yang mereka lupa, kehidupan ini berisi hal-hal yang lebih dari sekadar uang, yaitu hubungan, kekeluargaan, dan mutual-caring (saling memeliharasaling menjaga) sehingga membebaskan manusia dari ketergantungan dengan uang.
Dalam paradigma Wall-Street manusia hanya berbicara tentang rate of return dan kinerja ekonomi. Dalam kehidupan yang sehat, kita berbicara tentang kontribusi ekonomi yang berkelanjutan,yang terdiri atas makanan yang sehat, air yang bersih dan mengalir,tanah yang subur, dan nilai-nilai yang kooperatif. Kalau manusia sudah ingin cepat kaya, maka ia terperangkap dalam illusionary wealth, yaitu seakan-akan kekayaan itu hanya uang.
Dengan cara yang demikian orang akan saling telan sebagaimana predator. Di perusahaan mereka melakukan perampingan, outsourcing ke luar negeri, sehingga banyak pengangguran. Harga sahamnya naik, tapi kesenjangan meningkat.Konflik pun meluas dan dunia dihantui terorisme.
Kalau Anda mengajarkan orang cepat-cepat kaya,Anda juga harus ingat,Anda menaburkan kekacauan karena kekayaan tak bisa diperoleh tanpa kerja keras dan pengorbanan. Tuhan memberi kesempatan kita berjuang,agar memperoleh kekayaan plus kearifan dari tempaan hidup.(*)
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI