Keluarga memang tempat aman untuk buka rahasia diri. Nyaris, tak ada lagi rahasia pribadi yang terus tersimpan sesama anggota keluarga. Yang pelit terlihat pelit. Yang ramah teruji ramah. Yang malas pun begitu. Semua warna pribadi menjadi tampak jelas dalam kehidupan keluarga.
Itulah mungkin kenapa Rasulullah saw. melarang suami menceritakan keadaan isterinya ke orang lain. Dan begitu pun sebaliknya. Biarlah dinding rumah menjadi penutup aurat anggota keluarga. Buat selama-lamanya.
Menariknya, ketika bangunan keluarga masih seumur jagung. Masing-masing pihak, belum paham seperti apa rahasia diri pasangannya. Pelitkah, rewelkah, penakutkah, manjakah, boroskah? Dan sebagainya. Saat itulah, suami atau isteri coba-coba menyelami kekurangan pasangannya.
Tentu saja, kekurangan bukan untuk dijatuhkan. Karena manusia mana yang hidup tanpa kekurangan. Itulah batu ujian, agar keluarga bisa menapaki anak-anak tangga keharmonisan. Setidaknya, hal itulah yang kini dirasakan Pak Juned.
Pemuda usia dua puluh empat tahun ini sedang memasuki masa pengantin baru. Sebulan sudah, hari bersejarah akad nikahnya berlalu. Masih terasa degup jantungnya ketika itu. Bingung, grogi, penasaran jadi satu. Kini, ia sedang menelusuri dunia lain yang belum pernah ia alami. Apalagi rasakan.
Salah satu yang ia rasakan saat ini adalah bagaimana mengenal sisi lain orang yang tiba-tiba tinggal sekamar dengannya. Orang yang sebelumnya sama sekali tidak pernah ia kenal. Kadang Juned mengangguk pelan karena ada yang baru ia pahami. Sering juga bingung.
Salah satu yang kerap membuat bingung Juned bukan karena isterinya rewel. Bukan juga pelit. Apalagi pemarah. Semua sifat buruk itu nyaris tak ada. Tapi, ada hal yang sulit dimengerti Juned. Isterinya punya dua sifat berlawanan dalam tidur: gampang di saat akan tidur, sulit ketika akan bangun.
Memang, sifat itu sama sekali tidak menyalahi akhlak Islam. Sungguh anugerah Allah yang luar biasa ketika seseorang bisa tidur dengan cara mudah. Tapi, kok ini mudah banget. Tidak boleh ada angin bertiup sepoi-sepoi, ada tempat buat sandaran kepala, cahaya redup; dan tidur pun datang membawa lelap. Tak kenal siang, apalagi malam.
Itulah sebabnya, Juned belum berani memboncengki isterinya dengan sepeda motor berjarak di atas dua puluh kilometer. Takut ketiduran. Kecuali di hari panas, atau di jalan yang belum beraspal. Mudah tidurnya bisa sedikit tertahan.
Buat sifat yang pertama mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi, yang kedua itu agak merepotkan. Dan di sinilah, kesabaran Juned mesti terus diuji.
Suatu kali, beberapa hari setelah habis masa cuti nikah, Juned pulang agak larut. Arlojinya menunjuk angka dua belasan. Dengan lembut, ia mengetuk pintu depan rumah kontrakannya. ”Assalamu’alaikum!” ucap Juned pelan. Tapi, kok nggak ada reaksi. Suasana rumah tampak masih belum ada tanda-tanda kehidupan. Sepi!
Ia ketuk lagi pintu agak keras. “Assalamu’alaikum!” suaranya berbeda dengan yang pertama. Tapi, respon tetap tak berubah. Hingga beberapa kali ia ulangi langkah satu dan dua, suasana mulai berubah. Akhirnya ada reaksi. Sayangnya, reaksi bukan datang dari dalam rumah. Tapi, dari sekitar rumah. Beberapa tetangga Juned terbangun dan keluar rumah. “Baru pulang, Pak!” ucap mereka agak menyindir. Tidak ada yang bisa dilakukan Juned kecuali senyum yang agak dipaksakan. “Maaf jadi terbangun,” ucapnya ramah.
Diam-diam, Juned memutar ke arah samping rumah. Persis di dekat lubang angin jendela kamarnya, ia berdiam diri. Mungkin, dari tempat itu suaranya bisa didengar sang isteri. “Assalamu’alaikum! Abang, Yang! Assalamu’alaikum!!” ucapnya hati-hati. Tapi, tetap belum ada reaksi.
Saat itulah, Juned teringat dengan akhlak Rasul. Beliau saw. memilih tidur di halaman ketimbang menyusahkan isterinya yang tertidur pulas. “Ah, kenapa aku tidak memilih cara itu,” batin Juned berbisik datar. Ia pun kembali ke halaman depan.
Dengan hati-hati, Juned menggeser rak sepatu, besi penjemur pakaian, dan dua kursi plastiknya. Setelah yakin lantai yang ia pilih tidak basah bekas siraman hujan, ia susun beberapa lembar kertas koran yang sempat mampir di tas kantornya. Dan, Juned pun mulai merebah.
Matanya mulai dipejamkan. Mulutnya pun berujar pelan, “Bismikallahumma ahya, wa....” Plak! Belum sempat doa tidurnya terucap rampung, beberapa nyamuk sudah menyerbu. Juned pun sibuk menangkal serbuan itu.
Posisi tubuhnya tidak lagi merebah. Tapi, duduk bersila. Sementara, nyamuk-nyamuk tak kenal kompromi, apakah Juned sedang mencontoh Rasul atau tidak. “Ya Allah, ternyata perbuatan Rasul itu tidak mudah. Sulit!” ucap Juned sambil mencoba berdiri.
Ia kembali ke tempat persis di sisi jendela kamarnya. “Yang, Abang pulang! Assalamu’alaikum!” ucap Juned agak mengeras. “Yang, Abang, Yang!” Tapi, suasana tetap tak berubah.
Juned seperti mencari-cari sesuatu. Ia kumpulkan beberapa koin limaratus rupiahan dari saku celananya. Sesaat kemudian, tangan kanannya melempar koin demi koin melalui celah lubang angin kedalam kamar. Klotak! Klotak! Hingga....
“Bismillah!” suara Juned sambil beraksi di koin keempat. “Aduh!” terdengar suara halus dari balik kamar. “Siapa, ya?” ucap sang isteri agak parau. “Abang, Yang. Abang. Assalamu’alaikum!” sahut Juned spontan. Dan, pintu depan pun mulai dibukakan seseorang. (muhammadnuh@eramuslim.com) - http://www.eramuslim.com